Aspek
Hukum dalam Ekonomi
“ke
pailitan dalam perusahaan”
Oleh:
Nurul
fadillah utami (28214264)/2EB03
FAKULTAS
EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
Mata
kuliah: Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Dosen:
Ekaning setyarini
Ø
Pengertian Kepailitan
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.
Ø
Peraturan Perundangan tentang
Kepailitan
Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening. Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatip masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan negeri. Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.
Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135).
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.
Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.
Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening. Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatip masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan negeri. Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.
Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135).
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.
Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.
Ø
Tujuan utama kepailitan
adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.
adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.
Ø Lembaga
kepailitan
Pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:
1. kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
2. kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:
1. kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
2. kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Ø
Contoh perusahaan yang mengalami kepailitan
PERKARA
PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP PT.IGLAS (persero)
Pt.interchem
Plasagro Jaya berkedudukan di Jakarta mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadapPT.IGLAS (persero) yang berkedudukan di Surabaya ke
pengadilan Niaga Surabaya, berdasarkan adanya kerja sama dalam pembelian
chemicol. Termohon sebagai pemesan chemicol dan pemohon yang mengadakan dan
mengirim chemicol tersebut. Harga chemicol telah di sepakati berdasarkan
puchase order sebesar Rp. 102.531.936,00 dan sebesar US$ 165.816,38. Chemical
yang dipesan sudah dikirim oleh pemohon kepada termohon, tetapi pembayaran
harga chemical yang telah disepakati tersebut sampai dengan diajukannya
permohonan telah melewati batas jatuh tempo belum dilakukan pembayaran oleh
termohon. Pemohon telah melakukan berbagai upaya agar termohon dapat
menyelesaikan pembayaran utangnya tersebut secara musyawarah. Selain mempunyai
utang kepada pemohon, termohon juga mempunyai utang kepada PT. AKR Corporindo
Tbk. Berkedudukan di Jakarta dalam bentuk rupiah sebesar Rp. 254.002.073,00, dan
sebesar US$ 108.225 berdasarkan surat perihal Outstanding piutang dari PT. AKR
Corporindo Tbk. Kepada PT.IGLAS tanggal 23 juli. Berdasarkan bahwa
termohon mempunyai sedikit 2 kreditor yang telah jatuh waktu dan dapat di tagih
dan sampai diajukan permohonan utang tersebut belum di lunasi, sehingga menurut
pemohon syarat untuk dinyatakan pailit berdasarkan pasal 2 ayat 1 UUKPKPU telah
terpenuhi.
Dalam
eksepsinya termohon mengemukakan bahwa karena termohon/ PT.IGLAS (persero)
sebagai perseroan terbatas yang seluruh sahamnya milik pemerintah yang telah
terdaftar di Departemen hukum dan HAM, dan telah dimuat dalam lembaran Negara,
serta bergerak di bidang kepentingan publik, sehingga pemohon tidak memiliki
otoritas untuk mengajukan permohonan pailit. Termohon mendasarkan eksepsinya
tersebut pada pasal 2 ayat 5 UUKPKPU, yang menentukan bahwa permohonan
pernyataan pailit terhadap termohon sebagai BUMN persero hanya dapat diajukan
oleh Menteri Keuangan.
Dalam
pokok perkaranya, termohon mengakui mempunyai utang kepada pemohon sejumlah
sebagaimana disebutkan oleh pemohon. Namun, karena kondisi termohon dengan
adanya perintah dari Menteri Negara BUMN kepada perusahaan pengelola aset (PPA)
dengan surat No.S-10/MBU/2009 tanggal 12 januari 2009 yang pada pokoknya memerintahkan
kepada PPA untuk merestrukturisasi termohon/PT.Iglas (persero), sehingga
memerlukan waktu untuk memenuhi kewajibannya, yaitu harus melalui Due Deligence
oleh konsultan keuangan dan rekomendasi hasil Due Deligence.
PUTUSAN
PENGADILAN NIAGA SURABAYA.
Majelis
hakim pengadilan niaga surabaya dalam putusan No. 01/Pailit/2009/PN.Niaga.Sby
tanggal 31 maret 2009 mempertimbangkan materi eksepsi tersebut bersama-sama
pokok perkaranya, mengenai apakah pemohon pailit. Pertama, majelis berpedoman
pada pasal 5 UUKPKPU yang menyatakan “dalam hal debitor adalah perusahaan
asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
menteri keuangan”.Majelis berkesimpulan bahwa walaupun modal PT.Iglas (persero)
dimiliki oleh menteri BUMN dan PT.Bank Negara Indonesia, pada dasarnya seluruh
modalnya adalah milik negara. Majelis hakim menghubungkan dengan pasal 1 ayat 1
dan pasal 2 huruf g UUKN, yang menyatakan “keuangan negara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 ayat 1 adalah kekayaan negara/ kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah”.
Berdasarkan dari pertimbangan tersebut diatas, Majelis hakim
pengadilan niaga Surabaya berpendapat PT.Iglas (persero) merupakan BUMN yang
bergerak di bidang kepentingan publik yang seluruh modalnya dimiliki negara,
sehingga sebagaimana penjelasan pasal 2 ayat 5 UUKPKPU, permohonan pailit hanya
dapat diajukan oleh Menteri keuangan dan tidak dapat diajukan oleh siapapun
juga. Konsekuensinya, sebagai harta kekayaan milik negara, berdasarkan pasal 50
UU 1/2004 terhadap termohon tidak dapat dilakukan sita. Dengan kata lain,
apabila termohon dinyatakan pailit, dan terhadap harta kekayaannya berada dalam
sita umum, hal ini bertentangan dengan pasal 50 tersebut, kecuali permohonan
pailit diajukan oleh Menteri keuangan selaku wakil pemerintah dalam otoritas
sebagai pemilik kekayaan negara. Majelis hakim pengadilan niaga dalam
menjatuhkan putusannya juga berpedoman pada putusan mahkamah agung RI No.
075K/Pdt.Sus/2007 tanggal 22 oktober 2007 yang membatalkan kepailitannya PTDI.
PUTUSAN
KASASI
Mahkamah
agung RI dalam putusannya No. 397K/Pdt.Sus/2009 tanggal 31 juli 2009 telah
membatalkan putusan pengadilan niaga Surabaya tersebut dan menyatakan PT.Iglas
(persero ) dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya, dengan pertimbangan
bahwa pengadilan niaga Surabaya telah salah menerapkan hukum sebagai berikut:
- Bahwa
termohon merupakan BUMN yang modalnya terbagi dalam saham, yang kepemilikan
sahamnya tidak seluruhnya dikuasai/dimiliki negara, tetapi terbagi dua yaitu:
63,82% milik Menteri BUMN qq Negara RI dan 36,18% milik PT BNI Tbk. Dimana
saham PT Bank BNI Tbk sahamnya juga dimiliki masyarakat/swasta; Bahwa tujuan
termohon adalah mencari keuntungan;
- Dengan
demikian, pemohon dapat mengajukan permohonan pailit tanpa harus ,mendapat izin
dan kuasa dari Menteri keuangan karena termohon bukan BUMN
sebagaimana pengertian dalam penjelasan pasal 2 ayat 5 UUKPKPU;
- Selain
itu, bidang kegiatan termohon tidak secara langsung dimanfaatkan oleh publik
seperti halnya PT GARUDA, PLN dan pertamina. Dicantumkan klausula “yang
bergerak dibidang kepentingan publik” mengandung arti bahwa tidak semua BUMN
permohonan pailitnya hanya dapat diajukan oleh Menteri keuangan.
Terdapat
perbedaan pendapat (Dissenting Opinion), dalam Majelis hakim tingkat kasasi,
yang berpendapat bahwa yudex factie/ pengadilan niaga Surabaya tidak salah
menerapkan hukum dan pertimbangannya sudah tepat dan benar sesuai dengan
putusan mahkamah agung RI no. 075K/Pdt.Sus/2007 tanggal 22 oktober 2007 (dalam
kasus kepailitan PTDI), sehingga permohonan pernyataan pailit harus ditolak.
Setelah
debitor/PT.Iglas (persero) dinyatakan pailit oleh putusan kasasi mahkamah agung
RI no.397K/Pdt.Sus/2009 tanggal 31 juli 2009, termohon pailit/ PT.Iglas (persero)
mengajukan permohonan peninjauan kembali. Namun, ketika proses peninjauan
kembali berlangsung, terjadi perdamaian antara debitor pailit dan para
kreditor.
Ø
Para Pihak yang dapat mengajukan
kepailitan yaitu:
atas permohonan debitur sendiri
atas permintaan seorang atau lebih kreditur
oleh kejaksaan atas kepentingan umum
Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
Bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi dua syarat yaitu:
1. Memiliki minimal dua kreditur;
2. Tidak membayar minimal satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kreditur yang tidak dibayar tersebut, kemudian dapat dan sah secara hukum untuk mempailitkan kreditur, tanpa melihat jumlah piutangnya.
Akibat Hukum Pernyataan Pailit
Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya, maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, KURATOR berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.
Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit).
Ø
Siapa yangMempailitkan?
Setiap kreditur (perorangan atau perusahaan) berhak mempailitkan debiturnya (perorangan atau perusahaan) jika telah memenuhi syarat yang diatur dalam UUK, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Dikecualikan oleh Undang-Undang Kepailitan adalah Bank dan Perusahaan Efek. Bank hanya bisa dimohonkan pailitkan oleh Bank Indonesia, sedangkan perusahaan efek hanya bisa dipailitkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Bank dan Perusahaan Efek hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, hal ini didasarkan pada satu alasan bahwa kedua institusi tersebut melibatkan banyak uang masyarakat, sehingga jika setiap kreditur bisa mempailitkan, hal tersebut akan mengganggu jaminan kepastian bagi para nasabah dan pemegang saham.
Setiap kreditur (perorangan atau perusahaan) berhak mempailitkan debiturnya (perorangan atau perusahaan) jika telah memenuhi syarat yang diatur dalam UUK, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Dikecualikan oleh Undang-Undang Kepailitan adalah Bank dan Perusahaan Efek. Bank hanya bisa dimohonkan pailitkan oleh Bank Indonesia, sedangkan perusahaan efek hanya bisa dipailitkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Bank dan Perusahaan Efek hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, hal ini didasarkan pada satu alasan bahwa kedua institusi tersebut melibatkan banyak uang masyarakat, sehingga jika setiap kreditur bisa mempailitkan, hal tersebut akan mengganggu jaminan kepastian bagi para nasabah dan pemegang saham.
Menurut saya
jadi pada intinya bangkrut atau pailit menurut
Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan antara lain, keadaan dimana seseorang yang oleh
suatu pengadilan dinyatakan bangkrut dan yang aktivanya atau warisannya telah
diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya. Sedangkan, kepailitan menurut UU
Kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Jadi siapa saja yang membangun
perusahaan bisa mengalami kepailitan.
Sumber
http://sahikul.blogspot.co.id/2013/01/pengertian-dan-penjelasan-terhadap.html
http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-kepailitan-definisi-menurut.html
http://www.hukumkepailitan.com/2012/01/04/pengertian-dan-syarat-kepailitan/
http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-kepailitan-definisi-menurut.html
http://www.hukumkepailitan.com/2012/01/04/pengertian-dan-syarat-kepailitan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar